Indonesian Folktales

Tuesday, May 24, 2011

Mengenali Esensinya


You know you are friends when your heart can see each other’s true colors passing through every  layer of the ego-made masks.



Satu pelajaran yang saya petik di malam minggu lalu adalah esensi manusia tak pernah berubah. Sifat boleh bertransformasi, perilaku boleh berubah, penampilan selalu bisa berganti namun esensinya tak pernah luntur oleh waktu. Saya tak tahu istilah yang lebih baik lagi untuk menggambarkan karakter yang paling mendasar ini selain dengan kata esensi. Seperti sidik jari manusia, sejak lahir sampai dia menutup mata, esensinya akan tetap sama. Terus terang ini hal baru buat saya karena saya selalu berpikir manusia berubah. Hidup selalu bisa membuat seseorang menjadi lebih manis atau sebaliknya. Waktupun begitu.  Namun ternyata tidak juga.

Ote adalah salah satu sahabat saya. Dia teman lama saya. Dulu saat masih kuliah, kami dekat dan sudah seperti saudara. Saya tahu betul dia dan begitu juga sebaliknya. Kita sama-sama tahu pahit manisnya kehidupan yang kita masing-masing lalui. Persahabatanpun bukan cuma manisnya saja, banyak pahit dan pedih kami rasakan. Pertengkaran juga dari yang mogok bicara 3 harian sampai yang paling dramatis seperti sinetronpun pernah kami lalui. Tapi kami tetap saja tak kapok berteman. Ote orang yang unik. Dengan tampilan luar yang sangat mengintimidasi dan nyentrik, tak banyak orang tahu kalau dia sebenernya manusia dengan tingkat kepedean yang hampir rata dengan tanah. Dia sangat sering merasa tak berguna, tak dimengerti dan tak-tak yang lainnya.

Selepas lulus kuliah, saya langsung bekerja, sementara dia meneruskan kuliah di bidang yang dia sukai. Seiring waktu dan karena kesibukan kami masing-masing, saya dan dia makin jarang bertemu dan berkomunikasi. Makin jarang lagi karena setelah dia bekerja, saya mulai merasa kepribadiannya berubah. Menurut saya, Ote jadi “bossy”, kasar, dingin  dan tak berempati seperti dulu. Saya seperti berhadapan dengan tembok. Entah kemana Ote yang dulu. Apa begitu dahsyatnya kekuatan kekuasaan seperti uang dan posisi serta pergaulan hingga bisa membekukan kemanusiaan seorang manusia, begitu batin saya.  Saya jadi malas bicara sama dia bahkan hanya dengan maksud menyapa menanyakan kabar lewat messenger atau sms. Malas karena beberapa kali saya sapa ,dia menjawab singkat-singkat seperti orang yang malas bicara. Dan kalau saya tanyakan kenapa dia begitu, dia jadi galak dan menjawab sibuk. Dia pikir saya juga ga sibuk apa? , batin saya…

Kalau sudah begitu saya malas bicara lebih lanjut karena nantinya hanya bikin sakit hati. Berubah sudah sahabat yang satu ini, saya pasrah.  Meski pedih, life must go on, anggap saja seleksi alam, nanti juga dapat lagi gantinya yang sesuai, batin saya lagi...

Sabtu pagi itu, di luar kebiasaannya, dia menyapa melalui Blackberry  Messenger (BBM). Dia tanya apa saya punya rencana keluar hari itu. Saya jawab singkat, “ga ada. Mau santai aja di rumah. Kenapa?”

Seperti biasa, BBM saya dijawab dengan keheningan. Menyebalkan. Saya tanya lagi “Mau ke rumah?”

Baru dia jawab iya. Sekitar jam 10 habis sarapan katanya. Saya balas “kasih tau ya kalo udah otw.”

Dia jawab “yea sure”. Sombongnya.

Jam 11 dia sampai. Lusuh luar biasa. Tas kerja di tangan kanan, tas laptop di tangan kiri, jaket tergantung di pundak, kaos hitam, celana jeans ketat, kacamata hitam dan topi. Hari itu memang sangat terik jadi ya sangat wajar kalau kostum dia menyempurnakan penderitaan yang disebabkan udara Jakarta akhir-akhir ini.

Saya persilakan dia masuk langsung ke kamar. Dia kepanasan, saya nyalakan ac  kamar. Dia masih bisu sambil kipas2 panik, saya tawarkan apa dia mau ganti baju.  Saya agak kaget dengan perilaku saya sendiri. Terlepas dari kekesalan yang dia sebabkan karena perubahan sikapnya, saya tetap nyaman atas kehadirannya. Rasanya seperti kedatangan keluarga sendiri. Jujur saya senang bertemu dia lagi.

Pertemuan yang tadinya saya kira akan dingin dan tak nyaman ternyata tidak sama sekali. 10 jam dia ada di rumah saya dan selama itu banyak gelak tawa datang dari arah kamar saya. Rasanya sudah lama sekali tidak terbahak selepas ini. Rasanya sudah lama sekali tidak konyol-konyolan seperti orang yang lupa umur. Ote memang berubah. Dia sudah semakin percaya diri, semakin tahu apa yang dia mau. Dia juga tampak makin tenang meski saya yakin dia juga babak belur mengendalikan emosinya  itu. Banyak yang berubah di dirinya dan sudah pasti di diri saya juga. Tapi tiap kali kami menatap mata satu dan lainnya kami kenal esensi dibalik “atribut” kami. Lebam dan memar yang kami dapat sepanjang menjalani hidup ini tak mampu tutupi esensi itu.  Dan saya rasa, beginilah harusnya seseorang ‘melihat’ orang lain. Melihat melampaui lapisan label-label buatan masyarakat, topeng-topeng emosi, dan kabut pemikiran idealisme.