Sore itu, atas permintaan saya dan
karena janji yang pernah terucap setahun lalu olehnya, ia memutuskan datang berkunjung. Warrior
Princess adalah julukan kami terhadap satu sama lain mengingat kami berdua
sama-sama tahu medan
pertempuran macam apa yang terentang untuk dilalui selama 28 tahun hidup di
dunia ini. Tapi saya merasa ia lebih
cocok menyandang gelar mulia itu karena kepakan sayapnya terlalu megah untuk
bisa dihentikan oleh siapapun atau apapun. Ia benar-benar ksatria sejati.
Kamar telah saya rapihkan, air putih
beserta panganan kesukaannya sudah saya persiapkan. Bagi saya, seorang ksatria
selalu pantas disambut sebagai tamu agung dibandingkan seorang raja. Saya harap dia nyaman di kamar ini karena
saya menyukai kamar ini. Meski kecil, cat hijau mentol dan jendela besar
menghadap timur di sisi tempat tidur mengingatkan saya akan sebuah tempat
peristirahatan di tepi pantai.Ya, kami berdua sama sama menyukai pantai. Kamar
tidur ini hanyalah sebagian mungil dari petak huruf L raksasa yang membentuk
rumah keluarga saya. Kamar ini sudah
seperti sepetak surga yang kedamaiannya hanya terasa sebatas ambang pintunya.
Setelah lama menunggu, akhirnya
suara mesin mobil terdengar dari dalam kamar. Saya sambut ksatria
di depan pagar. Senyum merekah dari wajah lelahnya. Meski setahun
terentang di antara kami berdua, pertemuan fisik selalu saja bisa
menghapus kejamnya ilusi waktu. Tidak
ada rasa canggung yang biasa menyerang orang pada umumnya ketika mereka kembali
berjumpa setelah lama berpisah. Rasanya
seperti baru kemarin dia mengecup kedua pipi saya dan mengucapkan salam
perpisahan. Kini dia di sini, duduk di
hadapan saya, tersenyum hangat seperti setahun yang lalu.
“Kamu baik-baik saja kan?” senyum hangat itu
menyimpan kecemasan dan keletihan. Saya mengangguk seraya mengajaknya minum dan
mulai makan. Aneh, saya pikir hari ini
saya akan banyak berkeluh kesah kepadanya tetapi kata-kata seperti terhenti di
ujung lidah. Baiklah, intuisi ini mungkin benar adanya, ia datang untuk
beristirahat. Lagipula, bukankah suasana kamar ini memang sudah sedemikian rupa
cocok untuk merevitalisasi jiwa-jiwa yang lelah.
“Kamu nampak lelah.” Ia menyambut
pernyataan saya dengan senyum lemah. Sepertinya masih enggan bercerita. Sayapun
tidak akan memaksa. Saya percaya, hanya jiwa
ksatria pemberani yang mampu
tampil telanjang tanpa baju zirah pelindung ego mereka. Dan saya percaya ia
adalah satunya
“Kamu selalu bisa menelanjangi
saya.” Ujarnya tiba-tiba.
“Dan kamu selalu berani untuk
melepaskan baju besi itu ketika bersama saya. Saya hargai itu. Kita sama-sama tahu betapa sulitnya tampil
telanjang dihadapan manusia seperti kita berdua.” Jawab saya.sambil tertawa.
Dia tersenyum rileks, menyalakan
rokok dan mulai bercerita. Kisahnya rumit, romantis dan heroik seperti
biasanya. Dan diakhiri dengan pertanyaan
“Apa yang bisa saya perbuat untuk melerai benang kusut yang telah saya
ciptakan sendiri?”
Benang kusut. Saya tidak melihat ada
benang kusut di sana. Dia benar-benar lelah sepertinya sampai ia
merasa melihat sebuah benang kusut.
“Saya tidak melihat ada benang
kusut. “ jawab saya sambil tersenyum.
Dengan tatapan putus asa dia berkata
lagi “Maukah kamu bicara pada semesta
dan tanyakan apa yang bisa saya perbuat untuk memperbaiki ini semua?”
Saya mengangguk singkat seraya
meraih lembaran kertas kosong dari dalam laci.
Dia duduk cemas. Di hadapannya terentang 23 lembar kertas kosong.
“ Ambilah sebanyak yang kamu mau,
berikan padaku dan aku akan meletakkan di depanmu sesuai urutan pengambilannya”
Lima lembar
kertas kosong kini terletak di antara kami berdua. Kami menatapnya selama
beberapa menit. Kertas-kertas itu tidak lagi polos. Entah ia sadar atau tidak,
seluruh kecemasannya terproyeksi dengan sangat halus di atas kertas-kertas itu.
Semestapun berbicara dan saya menerjemahkan untuknya.
“Apa yang semesta katakan?” ujarnya
tak sabar
“Seperti yang saya bilang, tidak ada
benang kusut. Kamu sendiri sebenarnya tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu
selalu tahu. Hanya kali ini kamu takut dan ketakutan itu seperti awan gelap
yang menyelimuti begitu pekat sehingga kamu merasa kamu tidak mengetahui jalan
keluarnya.”
Ia tersenyum getir. Menyalakan
rokok. Menghisapnya dalam-dalam. Ia tahu semesta tidak pernah berbohong. Ia pun
tahu bahwa ia tahu. Yang ia tidak tahu adalah
apakah ia memiliki keberanian untuk menghadapi medan perang yang satu ini. Medan perang yang bukan lagi pertempuran
antara ia dan dunia. Kali ini ia dihadapkan dengan orang-orang tercintanya.
Semua menjelma menjadi alter egonya. Pertempuran kali ini hanya antara ia dan
dirinya.
Saya mungkin tidak tahu seluruh
kisahnya. Saya tidak perlu tahu. Saya hanya tahu bahwa seperti yang
sudah-sudah, di pertempuran kali ini ia akan baik-baik saja. Ya, seperti yang
sudah-sudah. Karena ia seorang ksatria sejati.
Ksatria sejati tidak membutuhkan baju zirah
karena ketelanjangan menyatukannya pada sumber perlindungan tak terkalahkan
yaitu sang Pencipta. Ia tidak memenangkan pertarungan dengan pedang maupun
panah melainkan dengan kejujuran nuraninya. Kita berdua sama-sama tahu akan hal
itu, bukan?
Desember 25 2009