Indonesian Folktales

Tuesday, August 9, 2016

Warrior Princess




Sore itu, atas permintaan saya dan karena janji yang pernah terucap setahun lalu olehnya, ia  memutuskan datang berkunjung. Warrior Princess adalah julukan kami terhadap satu sama lain mengingat kami berdua sama-sama tahu medan pertempuran macam apa yang terentang untuk dilalui selama 28 tahun hidup di dunia ini.  Tapi saya merasa ia lebih cocok menyandang gelar mulia itu karena kepakan sayapnya terlalu megah untuk bisa dihentikan oleh siapapun atau apapun. Ia benar-benar ksatria sejati.
Kamar telah saya rapihkan, air putih beserta panganan kesukaannya sudah saya persiapkan. Bagi saya, seorang ksatria selalu pantas disambut sebagai tamu agung dibandingkan seorang raja.  Saya harap dia nyaman di kamar ini karena saya menyukai kamar ini. Meski kecil, cat hijau mentol dan jendela besar menghadap timur di sisi tempat tidur mengingatkan saya akan sebuah tempat peristirahatan di tepi pantai.Ya, kami berdua sama sama menyukai pantai. Kamar tidur ini hanyalah sebagian mungil dari petak huruf L raksasa yang membentuk rumah keluarga saya.  Kamar ini sudah seperti sepetak surga yang kedamaiannya hanya terasa sebatas ambang pintunya.
Setelah lama menunggu, akhirnya suara mesin mobil terdengar dari dalam kamar. Saya sambut  ksatria   di depan pagar. Senyum merekah dari wajah lelahnya. Meski setahun terentang di antara kami berdua, pertemuan fisik selalu saja bisa menghapus  kejamnya ilusi waktu. Tidak ada rasa canggung yang biasa menyerang orang pada umumnya ketika mereka kembali berjumpa setelah lama berpisah.  Rasanya seperti baru kemarin dia mengecup kedua pipi saya dan mengucapkan salam perpisahan.  Kini dia di sini, duduk di hadapan saya, tersenyum hangat seperti setahun yang lalu.
“Kamu baik-baik saja kan?” senyum hangat itu menyimpan kecemasan dan keletihan. Saya mengangguk seraya mengajaknya minum dan mulai makan.  Aneh, saya pikir hari ini saya akan banyak berkeluh kesah kepadanya tetapi kata-kata seperti terhenti di ujung lidah. Baiklah, intuisi ini mungkin benar adanya, ia datang untuk beristirahat. Lagipula, bukankah suasana kamar ini memang sudah sedemikian rupa cocok untuk merevitalisasi jiwa-jiwa yang lelah.
“Kamu nampak lelah.” Ia menyambut pernyataan saya dengan senyum lemah. Sepertinya masih enggan bercerita. Sayapun tidak akan memaksa. Saya percaya, hanya jiwa  ksatria pemberani  yang mampu tampil telanjang tanpa baju zirah pelindung ego mereka. Dan saya percaya ia adalah satunya
“Kamu selalu bisa menelanjangi saya.” Ujarnya tiba-tiba.
“Dan kamu selalu berani untuk melepaskan baju besi itu ketika bersama saya. Saya hargai itu. Kita  sama-sama tahu betapa sulitnya tampil telanjang dihadapan manusia seperti kita berdua.” Jawab saya.sambil tertawa.
Dia tersenyum rileks, menyalakan rokok dan mulai bercerita. Kisahnya rumit, romantis dan heroik seperti biasanya. Dan diakhiri dengan pertanyaan  “Apa yang bisa saya perbuat untuk melerai benang kusut yang telah saya ciptakan sendiri?”
Benang kusut. Saya tidak melihat ada benang kusut di sana.  Dia benar-benar lelah sepertinya sampai ia merasa melihat sebuah benang kusut.
“Saya tidak melihat ada benang kusut. “ jawab saya sambil tersenyum.
Dengan tatapan putus asa dia berkata lagi  “Maukah kamu bicara pada semesta dan tanyakan apa yang bisa saya perbuat untuk memperbaiki ini semua?”
Saya mengangguk singkat seraya meraih lembaran kertas kosong dari dalam laci.  Dia duduk cemas. Di hadapannya terentang 23 lembar kertas kosong.
“ Ambilah sebanyak yang kamu mau, berikan padaku dan aku akan meletakkan di depanmu sesuai urutan pengambilannya”
Lima lembar kertas kosong kini terletak di antara kami berdua. Kami menatapnya selama beberapa menit. Kertas-kertas itu tidak lagi polos. Entah ia sadar atau tidak, seluruh kecemasannya terproyeksi dengan sangat halus di atas kertas-kertas itu. Semestapun berbicara dan saya menerjemahkan untuknya.
“Apa yang semesta katakan?” ujarnya tak sabar
“Seperti yang saya bilang, tidak ada benang kusut. Kamu sendiri sebenarnya tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu selalu tahu. Hanya kali ini kamu takut dan ketakutan itu seperti awan gelap yang menyelimuti begitu pekat sehingga kamu merasa kamu tidak mengetahui jalan keluarnya.”
Ia tersenyum getir. Menyalakan rokok. Menghisapnya dalam-dalam. Ia tahu semesta tidak pernah berbohong. Ia pun tahu bahwa  ia tahu. Yang ia tidak tahu adalah apakah ia memiliki keberanian untuk menghadapi medan perang yang satu ini. Medan perang yang bukan lagi pertempuran antara ia dan dunia. Kali ini ia dihadapkan dengan orang-orang tercintanya. Semua menjelma menjadi alter egonya. Pertempuran kali ini hanya antara ia dan dirinya.
Saya mungkin tidak tahu seluruh kisahnya. Saya tidak perlu tahu. Saya hanya tahu bahwa seperti yang sudah-sudah, di pertempuran kali ini ia akan baik-baik saja. Ya, seperti yang sudah-sudah. Karena ia seorang ksatria sejati.

Ksatria sejati tidak membutuhkan baju zirah karena ketelanjangan menyatukannya pada sumber perlindungan tak terkalahkan yaitu sang Pencipta. Ia tidak memenangkan pertarungan dengan pedang maupun panah melainkan dengan kejujuran nuraninya. Kita berdua sama-sama tahu akan hal itu, bukan?

Desember 25 2009

No comments:

Post a Comment