Indonesian Folktales

Monday, February 7, 2011

Ketika Saya Hanya Melihat Ke Luar

Tuhan dan alam semesta selalu punya cara untuk buktikan pada kita bahwa kita dicintai. Setidaknya itu yang selalu saya rasakan. Mungkin banyak orang kaget jika tahu kalimat ini meluncur dari dalam hati saya. Saya tak salahkan kekagetan itu. Saya mengerti tak sedikit orang yang memiliki first impression atau bahkan second, third dan seterusnya tak begitu manis tentang saya. Jika bisa dipersentasekan secara subjektif kira-kira akan seperti ini:
50% berimpresi saya sebagai perempuan judes ,galak, pemarah yang lebih sering terlihat heavyhearted atau bahkan ‘dark’
30% berimpresi saya adalah perempuan sombong, penyendiri dan punya aura mengintimidasi
10% berimpresi saya adalah perempuan manja, kekanak-kanakkan, tak punya tata krama
10%  berimpresi saya adalah perempuan unik yang punya pikiran jauh lebih dewasa dari umur saya, menenangkan, perasa, penyayang, pemberani, pemimpi.
Dan sudah pasti, ketiga urutan teratas sangat ingin saya berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Sayapun mengerti itu. Mungkin kalau saya dihadapkan dengan seseorang seperti diri saya, saya juga masuk di salah satu ketiga urutan itu. Sebegitu banyaknya orang yang mengharuskan saya merubah diri agar bisa jadi orang yang seseuai selera mereka, sebegitu besarnya jumlah orang yang menganggap saya terlalu banyak memiliki sifat negatif hingga saya percaya saya bukan orang yang menyenangkan. Saya percaya bahwa saya penuh dengan kegetiran, amarah, kekecewaan, iri hati, dan kompleks. Saya percaya bahwa saya adalah sosok dengan pribadi yang sulit. Kepercayaan ini mungkin sudah tertanam sejak kecil namun baru 3 tahun terakhir ini sepertinya hidup ingin saya menyadari bahwa false belief ini sudah sangat kronis. Kenapa saya bilang false? Ya karena ternyata semua keliru. Ternyata meski secara kuantitas impresi yang buruk-buruk tadi cukup besar, secara kualitas tak berarti apa-apa.
Hari ini, seperti hari-hari lainnya saat saya merasa hidup saya terjun bebas atau terpuruk, lagi-lagi Tuhan dan semesta dengan cara uniknya mengingatkan saya bahwa diri saya tak seburuk itu. Caranya memang ada-ada saja. Dimulai dari pagi hening yang saya nikmati bersama kucing kesayangan ditemani secangkir teh manis panas di ruang tamu. Pagi ini hujan deras, saya memutar lagu ceria untuk membangkitkan semangat. Mendadak saya mendengar suara pintu mobil di depan rumah ditutup. Saya tahu itu mobil tetangga namun entah kenapa pagi ini dalam hati saya spontan berkata “ah..papa sudah pulang.” Untuk sepersekian detik saya merasa kemurungan saya hilang, saya menoleh ke pagar dan sadar…papa saya kan sudah meninggal.  Tanpa saya sangka, saat itu juga air mata saya bergulir sederas hujan di luar. Ini bukan tangisan sedih. Ini tangisan haru karena untuk beberapa detik saya merasa beliau benar-benar ada dan sangat dekat…dan saya hampir yakin, beliau ada untuk saya. Saya  berterima kasih pada Tuhan. Di keheningan saya berbisik, “Papa, terima kasih sudah datang. Ria janji akan kuat. Ria akan baik-baik aja.”
Puas menangis karena haru dan rindu. Saya memutuskan untuk yoga. Meski separuh hati karena sedang tidak enak badan, saya paksakan juga. Anehnya pagi ini kedua kucing saya yang saling bermusuhan sama-sama masuk ke kamar dan duduk tenang di sisi kanan dan di depan saya. Mereka berpose ala Sphinx, sangat tenang dan rileks mengawasi saya. Dan ternyata ditengah-tengah yoga saya berpikir yang tidak-tidak hingga lupa bernapas teratur dan menjadi pusing. Melihat kedua kucing ini pikiran saya kembali ke momen ini. Saya merasa dijaga.
Lalu di sore hari, seorang sobat lama online di yahoo messenger. Kami jarang sekali bisa bertemu secara online karena kesibukan kami masing-masing. Sore ini  kami ngobrol tapi kali ini saya lebih banyak mendengarkan. Kali ini bukan karena ingin beratensi, namun lebih karena tak ingin cerita tentang keadaan hidup yang menurut saya tak patut dibanggakan. Sobat saya ini meski tahu keadaan saya, dia seperti tak memerdulikannya.
Kata-kata pertama yang dia ketik adalah “I’m reading your blog! Luv it! I always love ur writing. It just gets better with time like wine they say.”
“I thought your writing are very soothing to read.  U have this serene atmosphere in ur writing. It doesn’t sound desperate or pathetic at all. It’s just very mature and wise. I cannot sense anger at all …no.. if I can say it, I think you’ve healed, forgiven and loving ur self each moment. Very peaceful.  Like…unicorn. “
Dan saya balas dengan ikon senyuman. Dia bukan orang yang suka basa basi. Dia orang yang kejujurannya juga bisa terdengar brutal. Yang buruk akan dibilang buruk dan yang baik akan dibilangnya baik. Jadi ketika dia katakan ini semua…ya…seperti ada perban sejuk diletakkan di seluruh tubuh yang penuh memar ini.
Dia adalah salah satu orang di kelompok persentase terbawah. Dalam keadaan saya seburuk apapun, dia adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa melihat diri saya seperti Tuhan dan semesta melihat saya. Penuh cinta yang tak terkondisikan, penuh maaf. Ketika saya terlalu sering melihat ke luar dan terlalu banyak mendengarkan kata orang hingga lupa siapa saya sebenarnya seperti saat ini, saya dibantuNya untuk ingat. Melalui sahabat saya dan hal lain yang terjadi hari ini, saya ingat lagi…betapapun terasa beratnya beban hidup, saya adalah jiwa yang cahayanya tak akan pernah padam. Jiwa yang dicintai dan dijaga hidupnya. Jiwa yang sempurna dan berharga. Dan semoga pengalaman ini nantinya dapat membuat saya melihat diri saya dan juga orang lain seperti Tuhan melihat saya. Penuh cinta yang tak terkondisikan.

No comments:

Post a Comment