Jelang pagi
Dinginnya menusuk tulang
Aku sedang tak bisa menyusun kata
Jemariku kaku padahal tak membeku
Lidahku kelu padahal enggan membisu
Karena rasa terus memaksa
Hadirkan hening...
Hadirkan hening
Hadirkan hening
Hingga kau membening...
Istirahatkan logika
Diamlah dalam rasa
Ikuti saja iramanya
yang seirama dengan tarikan dan hembusan nafasmu
dan detak jantungmu
Jelang pagi
Sebentar lagi matahari tinggi
Ramadhanku kali ini
Menuntutku untuk sunyi
Thursday, June 25, 2015
Wednesday, June 10, 2015
Selalu Kamu
Selalu kamu
yang muncul di waktu-waktu sunyiku
Di heningnya peralihan malam ke pagi
Di gelapnya langit berserakan bintang
Di dinginnya malam menyapa jiwa
Selalu kamu
Yang pada akhirnya diam mengawasi
Mencuri-curi pandang di sela ketergesaan hidup
Bergeming menatapku
Meski berulang kali kau harus
sembunyi
Selalu kepadamu
Kubisikkan sebuah kisah
Tentang seorang pengembara yang rindu pulang
Namun langkahnya belum berkata senada
Dan tentang sebuah hati yang penuh cinta
yang dengan tulus menantinya
Selalu untukmu
Doa-doa sunyi kupanjatkan
Semoga Dia senantiasa memeliharamu
Menguatkanmu di saat kau merasa paling sendiri
Dan semoga ketika tiba saatnya nanti
Dia ringankan langkahmu pulang menuju hatiku
yang muncul di waktu-waktu sunyiku
Di heningnya peralihan malam ke pagi
Di gelapnya langit berserakan bintang
Di dinginnya malam menyapa jiwa
Selalu kamu
Yang pada akhirnya diam mengawasi
Mencuri-curi pandang di sela ketergesaan hidup
Bergeming menatapku
Meski berulang kali kau harus
sembunyi
Selalu kepadamu
Kubisikkan sebuah kisah
Tentang seorang pengembara yang rindu pulang
Namun langkahnya belum berkata senada
Dan tentang sebuah hati yang penuh cinta
yang dengan tulus menantinya
Selalu untukmu
Doa-doa sunyi kupanjatkan
Semoga Dia senantiasa memeliharamu
Menguatkanmu di saat kau merasa paling sendiri
Dan semoga ketika tiba saatnya nanti
Dia ringankan langkahmu pulang menuju hatiku
Tuesday, June 9, 2015
Just a Thought - Kadang
Kadang, mendengarkan musik yang tepat dan memandangi cahaya lilin
bisa lebih menentramkan daripada kata-kata penghiburan
Kadang, orang yang kita temui di jalan bisa lebih memahami kita
daripada orang-orang terdekat
Kadang, cuma keheningan yang bisa memunculkan semua jawaban
Kadang, duduk diam adalah obat paling manjur bagi emosi yang bergejolak
Kadang, sendirian membuat kita bisa bernapas lebih lega
Kadang, menahan lidah bisa menyelamatkan banyak hati
Dan kadang, tak melakukan apa-apa adalah hal yang paling bijaksana
Monday, June 8, 2015
Kewingitan Pagi Ini
Tadi pagi, saya dan si Kakak pergi ke salah satu rumah sakit tua terkenal di Jak-Sel. Menurut dokter, si Kakak pagi ini harus CT Scan.
Sesampainya di rumah sakit, si Kakak langsung menuju loket pendaftaran sedangkan saya mencari-cari kursi kosong untuk duduk. Semua kursi hampir terisi. Terus terang waktu baru datang tadi, saya juga agak kaget karena rumah sakit ini ramai sekali. Apa mungkin makin hari makin banyak orang yang menderita sakit ya?
Kembali ke pencarian tempat duduk, saya melihat ada dua kursi kosong di tengah-tengah. Setelah permisi sana-sini, saya dan si Kakak akhirnya bisa duduk. Sekitar 5 menit kemudian, nama si Kakak sudah dipanggil. Ternyata dia bisa langsung ke ruang radiologi.
Kami pun berjalan ke bagian radiologi yang ternyata terletak di lorong bagian Barat gedung rumah sakit. Agak jauh. Semakin lama hingar bingar di belakang kami pun terdengar sayup-sayup. Ruang radiologi ini memang tidak terletak di ujung lorong, tapi lorongnya sendiri sangat sepi. Saat itu hanya saya dan si Kakak yang melewatinya. Mungkin juga ini cuma perasaan saya, tapi selain sepi, lampu-lampu di lorong ini kelihatannya tidak seterang di bagian lain rumah sakit ini.
Kami sampai di ruang yang dituju. Ruang radiologi punya ruang tunggu tersendiri yang berbentuk kotak kecil dan dibatasi pintu dan jendela kaca. Di sana ada seorang ibu dan anak. Tampaknya mereka menunggu juga. Tak lama kami duduk, dari dalam ruang CT Scan, seorang perawat keluar dan memanggil nama si Kakak. Dan saat itu juga keluarlah seorang pria yang ternyata anggota keluarga dari ibu dan anak yang ada di ruang tunggu. Mereka langsung pergi. Saya pun jadi seorang diri di kotak kaca kecil yang ternyata cukup dingin.
Mungkin karena sudah tak ada orang selain saya, perlahan saya bisa menangkap suasana di ruangan itu. Ruang tunggu itu tidak cuma temaram tapi juga berkesan suram. Lalu, saya baru sadar bahwa di belakang kaca ruang tunggu itu ada sebidang tanah kosong. Tampaknya di sana akan dibangun sesuatu, mungkin perluasan ruangan.Absurd juga ada tanah kosong di rumah sakit tua seperti ini. Kalau rumah sakit baru sih saya maklum.
Enggan menatap tanah kosong itu lama-lama, mata saya kemudian beralih ke TV di dinding. Acara di TV yang tadinya tidak saya perhatikan, kini mulai saya tonton. Dan kok ya acaranya tentang kisah nyata kejadian-kejadian aneh yang dialami masyarakat awam. Lengkap sudah kewingitan saya pagi ini. Untung saya kepikiran membawa buku tulis dan pulpen sebelum berangkat tadi. Daripada berpikir yang tidak-tidak, saya mencoba fokus menulis apa saja yang terlintas di kepala sampai akhirnya si Kakak keluar dari ruang CT Scan. Sambil meraih tasnya, si Kakak berkata,
Besok pagi temenin aku ke sini lagi ya... tadi itu belum jadi CT Scan
Sekarang saya galau. Besok ikut atau tidak ? :D
Sesampainya di rumah sakit, si Kakak langsung menuju loket pendaftaran sedangkan saya mencari-cari kursi kosong untuk duduk. Semua kursi hampir terisi. Terus terang waktu baru datang tadi, saya juga agak kaget karena rumah sakit ini ramai sekali. Apa mungkin makin hari makin banyak orang yang menderita sakit ya?
Kembali ke pencarian tempat duduk, saya melihat ada dua kursi kosong di tengah-tengah. Setelah permisi sana-sini, saya dan si Kakak akhirnya bisa duduk. Sekitar 5 menit kemudian, nama si Kakak sudah dipanggil. Ternyata dia bisa langsung ke ruang radiologi.
Kami pun berjalan ke bagian radiologi yang ternyata terletak di lorong bagian Barat gedung rumah sakit. Agak jauh. Semakin lama hingar bingar di belakang kami pun terdengar sayup-sayup. Ruang radiologi ini memang tidak terletak di ujung lorong, tapi lorongnya sendiri sangat sepi. Saat itu hanya saya dan si Kakak yang melewatinya. Mungkin juga ini cuma perasaan saya, tapi selain sepi, lampu-lampu di lorong ini kelihatannya tidak seterang di bagian lain rumah sakit ini.
Kami sampai di ruang yang dituju. Ruang radiologi punya ruang tunggu tersendiri yang berbentuk kotak kecil dan dibatasi pintu dan jendela kaca. Di sana ada seorang ibu dan anak. Tampaknya mereka menunggu juga. Tak lama kami duduk, dari dalam ruang CT Scan, seorang perawat keluar dan memanggil nama si Kakak. Dan saat itu juga keluarlah seorang pria yang ternyata anggota keluarga dari ibu dan anak yang ada di ruang tunggu. Mereka langsung pergi. Saya pun jadi seorang diri di kotak kaca kecil yang ternyata cukup dingin.
Mungkin karena sudah tak ada orang selain saya, perlahan saya bisa menangkap suasana di ruangan itu. Ruang tunggu itu tidak cuma temaram tapi juga berkesan suram. Lalu, saya baru sadar bahwa di belakang kaca ruang tunggu itu ada sebidang tanah kosong. Tampaknya di sana akan dibangun sesuatu, mungkin perluasan ruangan.Absurd juga ada tanah kosong di rumah sakit tua seperti ini. Kalau rumah sakit baru sih saya maklum.
Enggan menatap tanah kosong itu lama-lama, mata saya kemudian beralih ke TV di dinding. Acara di TV yang tadinya tidak saya perhatikan, kini mulai saya tonton. Dan kok ya acaranya tentang kisah nyata kejadian-kejadian aneh yang dialami masyarakat awam. Lengkap sudah kewingitan saya pagi ini. Untung saya kepikiran membawa buku tulis dan pulpen sebelum berangkat tadi. Daripada berpikir yang tidak-tidak, saya mencoba fokus menulis apa saja yang terlintas di kepala sampai akhirnya si Kakak keluar dari ruang CT Scan. Sambil meraih tasnya, si Kakak berkata,
Besok pagi temenin aku ke sini lagi ya... tadi itu belum jadi CT Scan
Sekarang saya galau. Besok ikut atau tidak ? :D
Sunday, June 7, 2015
Just a Thought - Tak Perlu Nestapa
Mungkin begitulah fitrahnya hidup. Segalanya hanya menari di sekitarku. Dan ternyata aku, di tengah-tengah inti hidupku ini, tak perlu melakukan apa-apa. Tak perlu menggapai-gapai untuk sesuatu yang belum waktunya masuk ke dalam hidupku. Dan tak perlu sekuat tenaga menghindari hal-hal yang tak ingin kuhadapi.
Tarian hidup akan menggerakkan segalanya mendekati atau menjauhiku.Tidak peduli berapa lama sesuatu atau seseorang telah pergi dari hidupku atau berapa lama mereka akan berada di sisiku, segalanya selalu bergerak. Segalanya seperti sebuah tarian. Gemulainya akan terasa lembut jika aku bisa mengalir mengikuti iramanya. Dan akan terasa berat jika aku memutuskan untuk bergerak sendiri, melawan aliran hidup ini.
Ah ya, semua baik adanya. Tak perlu dikhawatirkan. Segalanya akan datang dan pergi sesuai waktuNya. Dan selama gerakku mengalir mengikuti gemulai yang telah ditetapkanNya, menyatu dengan megahnya kasih semesta, hati ini tak perlu nestapa.
Saturday, June 6, 2015
Dikunjungi (adiknya) Papa
Siang tadi seperti kebanyakan siang-siang sebelumnya, matahari bersinar terik tanpa kompromi. Di rumah yang seperti kapal pecah, saya memaksa tubuh ini untuk tetap aktif bersih-bersih sebisanya. Sejak ada pembangunan rumah mungil di pekarangan yang tadinya kebun, jangan berharap rumah bisa rapi. Bisa ga berdebu selama 3 jam setelah dipel saja sudah untung. Lebih dari 3 jam, debu sudah masuk dan menempel lagi di seluruh permukaan lantai. Maklum, pasir dan bahan-bahan bangunan disimpan persis di depan dan di samping pintu masuk. Tapi ya sudah, kami sekeluarga diam-diam belajar menerima keadaan. Alhamdulillah sebulan sudah berjalan, tak satu pun dari kami mengeluhkan ketidaknyamanan ini. Mengakui bahwa ini tidak nyaman, iya... tapi tidak mengeluh, karena ternyata kami semua sependapat bahwa keluhan hanya akan memberatkan segalanya.
Terus terang di masa-masa transisi yang sejujurnya melelahkan lahir batin ini, saya suka terkenang akan ayah saya. Kadang saya suka ngebatin sendiri,
kalo papa ada , kita sekarang lagi ngapain ya?
atau
si Papa bakal mikir apa ya ngeliat pembangunan rumah yang baru,
Kira-kira pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang terlintas ketika saya teringat beliau. Mei ini. 5 tahun sudah beliau meninggalkan kami. Tahun 2010, di bulan yang sama, ayah saya berpulang dengan damai ketika tidur siang. Kalau tidak salah, waktu itu juga hari Sabtu, soalnya kami semua ada di rumah.
Sabtu ini kami semua juga ada di rumah. Karena teriknya ga kira-kira, saya memutuskan merebahkan diri sejenak. Baru saja akan tertidur, tahu-tahu ada yang mengetuk pintu rumah. Tumben nih, kalau tetangga yang datang, biasanya mereka langsung memanggil nama ibu saya atau cuma bilang "permisi".
Saya buru-buru ke depan dan coba melihat dari jendela siapa yang datang. Pas pada saat yang sama tamu tersebut juga mencoba melihat ke dalam melalui kaca jendela. Saya kaget bukan main. Saya kira wajah yang saya tatap di jendela itu adalah ayah saya. Sumpah deh, selama 5 detik saya melongo tidak percaya karena saya kira yang menatap balik saya adalah ayah saya, Kalau ibu saya tidak buka suara bertanya siapa yang datang, mungkin saya akan melongo lebih lama.
Om saya dan istrinya datang dari Sukabumi. Tamu jauh yang sangat jarang kami jumpai. Om saya adalah adiknya Papa. Beliau kini berumur 71 tahun dan wajahnya persis sekali seperti wajah Papa saat berumur 68 tahun. Kami semua menyambut mereka dengan gembira. Ibu, kakak dan saya berganti-ganti bercerita. Dan ketika giliran mereka yang bercerita, saya diam-diam menikmati memandangi wajah Om. Ah betapa rindunya saya sama Papa.
Tak terasa mereka sudah harus pulang. Di pintu, setelah bergantian berpelukan dan cium tangan, entah kenapa saya spontan berkata,
Om, jaga kesehatan ya. Semua saudara Papa udah ga ada. Cuma Om yang kami punya sekarang.
Om saya tertawa dan sambil berkaca-kaca dia meremas bahu saya dan hanya menjawab,
Kamu sudah besar sekali ya...
Istrinya memeluk saya lalu dengan sumringah berkata,
Kangen ya sama Papanya. Doakan kami semua sehat-sehat ya.
Kami antar mereka sampai ke gerbang. Doa saya sederhana, semoga lebaran ini kami masih bisa berkumpul lagi. Aamiin.
Terus terang di masa-masa transisi yang sejujurnya melelahkan lahir batin ini, saya suka terkenang akan ayah saya. Kadang saya suka ngebatin sendiri,
kalo papa ada , kita sekarang lagi ngapain ya?
atau
si Papa bakal mikir apa ya ngeliat pembangunan rumah yang baru,
Kira-kira pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang terlintas ketika saya teringat beliau. Mei ini. 5 tahun sudah beliau meninggalkan kami. Tahun 2010, di bulan yang sama, ayah saya berpulang dengan damai ketika tidur siang. Kalau tidak salah, waktu itu juga hari Sabtu, soalnya kami semua ada di rumah.
Sabtu ini kami semua juga ada di rumah. Karena teriknya ga kira-kira, saya memutuskan merebahkan diri sejenak. Baru saja akan tertidur, tahu-tahu ada yang mengetuk pintu rumah. Tumben nih, kalau tetangga yang datang, biasanya mereka langsung memanggil nama ibu saya atau cuma bilang "permisi".
Saya buru-buru ke depan dan coba melihat dari jendela siapa yang datang. Pas pada saat yang sama tamu tersebut juga mencoba melihat ke dalam melalui kaca jendela. Saya kaget bukan main. Saya kira wajah yang saya tatap di jendela itu adalah ayah saya. Sumpah deh, selama 5 detik saya melongo tidak percaya karena saya kira yang menatap balik saya adalah ayah saya, Kalau ibu saya tidak buka suara bertanya siapa yang datang, mungkin saya akan melongo lebih lama.
Om saya dan istrinya datang dari Sukabumi. Tamu jauh yang sangat jarang kami jumpai. Om saya adalah adiknya Papa. Beliau kini berumur 71 tahun dan wajahnya persis sekali seperti wajah Papa saat berumur 68 tahun. Kami semua menyambut mereka dengan gembira. Ibu, kakak dan saya berganti-ganti bercerita. Dan ketika giliran mereka yang bercerita, saya diam-diam menikmati memandangi wajah Om. Ah betapa rindunya saya sama Papa.
Tak terasa mereka sudah harus pulang. Di pintu, setelah bergantian berpelukan dan cium tangan, entah kenapa saya spontan berkata,
Om, jaga kesehatan ya. Semua saudara Papa udah ga ada. Cuma Om yang kami punya sekarang.
Om saya tertawa dan sambil berkaca-kaca dia meremas bahu saya dan hanya menjawab,
Kamu sudah besar sekali ya...
Istrinya memeluk saya lalu dengan sumringah berkata,
Kangen ya sama Papanya. Doakan kami semua sehat-sehat ya.
Kami antar mereka sampai ke gerbang. Doa saya sederhana, semoga lebaran ini kami masih bisa berkumpul lagi. Aamiin.
Papa, Maret 2009 |
Friday, June 5, 2015
Puisi Subuh
Lepas
tak berpanjat
Mengembara tak bertujuan
ikuti rasa
manut pada nurani
Meski mentari dan bulan setia menemani
dan tanah tanpa lelah menopang jasmani
Tanyaku belum juga terhenti
Wahai Kau, di mana kaumku?
Mengapa sebatang kara menjadi takdirku?
Kemudian nurani tak bertuan
Yang racaunya biasa tak kuhiraukan
Hari ini terdengar menggelegar
Wahai kamu,
Jiwa yang merdeka berjalan hanya denganKu
-Kolong langit subuh, 5 Juni 2015
tak berpanjat
Mengembara tak bertujuan
ikuti rasa
manut pada nurani
Meski mentari dan bulan setia menemani
dan tanah tanpa lelah menopang jasmani
Tanyaku belum juga terhenti
Wahai Kau, di mana kaumku?
Mengapa sebatang kara menjadi takdirku?
Kemudian nurani tak bertuan
Yang racaunya biasa tak kuhiraukan
Hari ini terdengar menggelegar
Wahai kamu,
Jiwa yang merdeka berjalan hanya denganKu
-Kolong langit subuh, 5 Juni 2015
Thursday, June 4, 2015
Langit Malam dan Mama
"Langitnya cantik deh, Ma. Banyak bintangnya. Lihat, deh."
"Iya, sebentar. Mama pakai baju hangat dulu."
Aku dengan sabar menunggu Mama di halaman. Sambil menghirup sejuknya udara malam sehabis hujan, tatapanku menyapu angkasa yang pada saat itu berkilauan seperti beludru hitam bertaburan intan.
"Oh iya ya! Terang betul bintang-bintangnya! Apalagi yang tiga itu," tunjuknya ke langit Barat. Di sana ada tiga bintang yang luar biasa terangnya jika dilihat dari rumah kami.
"Ma, tahu gak? Itu bukan bintang, lho. Yang kelihatan paling besar dan terang itu planet Venus. Nah, yang di atasnya dan kelihatan lebih kecil itu Jupiter. Dan di sebelah sana yang agak jauh tapi berwarna biru terang itu adalah Sirius."
"Oh ya? Waaah..."
Ingatanku melayang ke malam 30 tahun yang lalu. Bedanya, malam itu kami bertukar posisi. Dulu, setiap langit malam sedang cerah, Mama rajin mengajakku ke halaman. Dengan lembut dia bercerita tentang nama-nama rasi bintang, planet dan bagaimana mengenalinya dari sini, dari halaman rumah kami. Mendengarkan Mama sambil memandangi langit malam melalui teleskop kecilku adalah momen yang penuh keajaiban.
Kini kulihat matanya tak berpaling dari langit malam. Mendengarku menjelaskan apa yang sedang dilihatnya, senyumnya melebar dan matanya berbinar.
"Ma, tahu gak apa yang lebih cantik dari langit malam?" tanyaku perlahan.
"Ah buat Mama sih langit seperti ini sudah yang paling indah dilihat," jawabnya tetap tak melepas pandangan dari angkasa.
Aku memeluk tubuh mungilnya yang termakan usia,
Lalu kukatakan kepadanya,
"Buatku, mata dan senyuman Mama tetap yang paling indah dilihat."
-Untuk Mama
"Iya, sebentar. Mama pakai baju hangat dulu."
Aku dengan sabar menunggu Mama di halaman. Sambil menghirup sejuknya udara malam sehabis hujan, tatapanku menyapu angkasa yang pada saat itu berkilauan seperti beludru hitam bertaburan intan.
"Oh iya ya! Terang betul bintang-bintangnya! Apalagi yang tiga itu," tunjuknya ke langit Barat. Di sana ada tiga bintang yang luar biasa terangnya jika dilihat dari rumah kami.
"Ma, tahu gak? Itu bukan bintang, lho. Yang kelihatan paling besar dan terang itu planet Venus. Nah, yang di atasnya dan kelihatan lebih kecil itu Jupiter. Dan di sebelah sana yang agak jauh tapi berwarna biru terang itu adalah Sirius."
"Oh ya? Waaah..."
Ingatanku melayang ke malam 30 tahun yang lalu. Bedanya, malam itu kami bertukar posisi. Dulu, setiap langit malam sedang cerah, Mama rajin mengajakku ke halaman. Dengan lembut dia bercerita tentang nama-nama rasi bintang, planet dan bagaimana mengenalinya dari sini, dari halaman rumah kami. Mendengarkan Mama sambil memandangi langit malam melalui teleskop kecilku adalah momen yang penuh keajaiban.
Kini kulihat matanya tak berpaling dari langit malam. Mendengarku menjelaskan apa yang sedang dilihatnya, senyumnya melebar dan matanya berbinar.
"Ma, tahu gak apa yang lebih cantik dari langit malam?" tanyaku perlahan.
"Ah buat Mama sih langit seperti ini sudah yang paling indah dilihat," jawabnya tetap tak melepas pandangan dari angkasa.
Aku memeluk tubuh mungilnya yang termakan usia,
Lalu kukatakan kepadanya,
"Buatku, mata dan senyuman Mama tetap yang paling indah dilihat."
-Untuk Mama
Tuesday, June 2, 2015
Jangan Takut, Tika
Mimpi yang panjang bagi seorang Tika. Padahal dia hanya tertidur 2,5 jam. Tapi aku tahu, waktu di dunia nyata tak berlaku di alam lain.Selama 2,5 jam di alam astral itu pastilah dirinya merampungkan tugas yang setara kegiatan satu hari penuh.
Sekarang baru pukul 02.00 dini hari dan Tika mati gaya. Sampai saat ini dia belum juga paham mengapa selalu saja ada sesuatu yang membangunkannya di kisaran waktu yang sama: antara tengah malam hingga pukul 03.00.
Jika bukan aku yang selalu merasa lapar di jam-jam absurd dan kemudian membangunkannya, toh dia akan tetap terbangun sendiri tengah malam. Tubuhnya seakan punya kesadaran untuk bangun pada waktu-waktu tertentu. Tapi kali ini lucu. Kukira dia akan tidur sampai pagi karena tidurnya tadi tampak lelap sekali. Dugaanku keliru. Setelah 2,5 jam terlelap, tahu-tahu manusiaku ini terduduk tegap dengan tegang. Dia memegang dada lalu bibirnya tak henti-hentinya mengucap doa. Nampaknya untuk menenangkan diri sendiri. Pastilah sesuatu yang besar telah terjadi di alam astral. Aku sengaja merapatkan tubuh ke lengannya. Semoga dengan merasakan hangat dan lembutnya bulu-buluku, dia bisa merasa lebih rileks.
"Mimpiku tadi sadis, Oren. Penuh kekerasan. Ada banyak kejahatan dan pembantaian. Dan aku di sana berusaha mengumpulkan dan melindungi orang-orang yang terpisah dari keluarganya." Bisiknya gemetar sambil membelaiku.
Ya... Ya... Tika. Andai aku bisa bicara. Akan kuucapkan banyak penghiburan agar damai hatimu. Andai bisa, akan kuungkapkan rahasia-rahasia hidup yang sebenarnya kau ketahui namun kau memilih "pura-pura tidak tahu" karena kau "masih" takut. Andai bisa kukatakan kepadamu, Tika, bahwa kepekaanmu tak perlu menjadi sebuah kutukan dan bahwa kau ditakdirkan menolong banyak orang dengan intuisimu itu, andai saja kau sedikit lebih berani.
Ah sudahlah. Biar waktu yang mematangkan keberanianmu. Serba salah memang jika punya sifat penakut tapi dianugrahi beragam kemampuan persepsi ekstra sensorik. Semua pesan-pesan semesta jadi butuh waktu lama untuk dapat dia mengerti. Kalau bahasa slank manusianya, Tika ini cenderung telmi dalam memahami ketajaman intuisinya sendiri. Bukan, bukan karena dia bodoh, tapi karena keberaniannya selalu muncul belakangan.
"Oren, kau tetap di sini ya. Jangan tidur duluan. Tunggu aku, aku mau ambil air wudhu lalu salat Tahajud. Rasanya untuk itu aku selalu terbangun jam segini."
Andai bukan kucing, saat itu aku mungkin akan mengelus dada.
Jakarta, 2 Juni 2015
Monday, June 1, 2015
Badai di Buminya Bima
Bumi kembali memancarkan gelombang itu. Bima dapat merasakannya.
Bima yakin sekali, kali ini gejolak yang dirasanya ini milik Bumi. Hanya Bumi yang punya pancaran gelombang sekuat ini dan sampai bisa membuat tubuhnya bereaksi.
"Badai lagi... lebih besar dari yang sudah-sudah, rupanya."
Pantas saja beberapa malam ini Bima teringat akan Bumi. "Rumah" bagi jiwa lelahnya yang telah lama ia tinggalkan. Beginilah adanya setiap kali Bumi dilanda badai. Meski Bima tak sedang memikirkannya, tubuhnya yang peka seolah tahu apa yang sedang terjadi pada Bumi.
Bima mulai merasa sulit bernafas. Dadanya terasa berat dan hatinya gelisah. Andai ia bisa berbuat sesuatu dari sini. Namun Bumi terlalu jauh dan sesuatu di lubuk hati Bima selalu saja menahannya,
"Dia bisa." bisik nurani Bima kepada logikanya yang kian meronta.
"Kau tahu ini belum saatnya." suara itu kembali mengingatkan Bima.
Bima menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Nafasnya perlahan kembali normal meski sekujur tubuhnya masih terasa tegang
"Kau bisa, Bumi," bisik Bima ke udara. Berharap kata-kata sunyinya terbawa angin dan menggapai Bumi. Menguatkan Bumi. Menemani Bumi melewati badainya sendiri.
Hidup memang sangat menarik Tariannya bisa sangat lembut namun juga bisa menghempas. Dan kini Bumi sedang terhempas, Bima dapat merasakannya. Seperti juga ketika Bima yang terhempas. Bumi tak habis-habisnya dilanda gelisah karena tak bisa berbuat apa-apa.
Keduanya hanya bisa saling mendoakan dalam diam dan membiarkan tarian hidup membentuk mereka. Mereka tahu, hanya dengan begitu mereka dapat dipersatukan kembali. Dalam bentuk yang lebih matang, murni dan baik untuk satu sama lain.
Astungkara.
Jakarta, 1 Juni 2015
Bima yakin sekali, kali ini gejolak yang dirasanya ini milik Bumi. Hanya Bumi yang punya pancaran gelombang sekuat ini dan sampai bisa membuat tubuhnya bereaksi.
"Badai lagi... lebih besar dari yang sudah-sudah, rupanya."
Pantas saja beberapa malam ini Bima teringat akan Bumi. "Rumah" bagi jiwa lelahnya yang telah lama ia tinggalkan. Beginilah adanya setiap kali Bumi dilanda badai. Meski Bima tak sedang memikirkannya, tubuhnya yang peka seolah tahu apa yang sedang terjadi pada Bumi.
Bima mulai merasa sulit bernafas. Dadanya terasa berat dan hatinya gelisah. Andai ia bisa berbuat sesuatu dari sini. Namun Bumi terlalu jauh dan sesuatu di lubuk hati Bima selalu saja menahannya,
"Dia bisa." bisik nurani Bima kepada logikanya yang kian meronta.
"Kau tahu ini belum saatnya." suara itu kembali mengingatkan Bima.
Bima menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Nafasnya perlahan kembali normal meski sekujur tubuhnya masih terasa tegang
"Kau bisa, Bumi," bisik Bima ke udara. Berharap kata-kata sunyinya terbawa angin dan menggapai Bumi. Menguatkan Bumi. Menemani Bumi melewati badainya sendiri.
Hidup memang sangat menarik Tariannya bisa sangat lembut namun juga bisa menghempas. Dan kini Bumi sedang terhempas, Bima dapat merasakannya. Seperti juga ketika Bima yang terhempas. Bumi tak habis-habisnya dilanda gelisah karena tak bisa berbuat apa-apa.
Keduanya hanya bisa saling mendoakan dalam diam dan membiarkan tarian hidup membentuk mereka. Mereka tahu, hanya dengan begitu mereka dapat dipersatukan kembali. Dalam bentuk yang lebih matang, murni dan baik untuk satu sama lain.
Astungkara.
Jakarta, 1 Juni 2015
Subscribe to:
Posts (Atom)