Indonesian Folktales

Saturday, June 6, 2015

Dikunjungi (adiknya) Papa

Siang tadi seperti kebanyakan siang-siang sebelumnya, matahari bersinar terik tanpa kompromi. Di rumah yang seperti kapal pecah, saya memaksa tubuh ini untuk tetap aktif bersih-bersih sebisanya. Sejak ada pembangunan rumah mungil di pekarangan yang tadinya kebun, jangan berharap rumah bisa rapi. Bisa ga berdebu selama 3 jam setelah dipel saja sudah untung. Lebih dari 3 jam, debu sudah masuk dan menempel lagi di seluruh permukaan lantai. Maklum, pasir dan bahan-bahan bangunan disimpan persis di depan dan di samping pintu masuk. Tapi ya sudah, kami sekeluarga diam-diam belajar menerima keadaan. Alhamdulillah sebulan sudah berjalan, tak satu pun dari kami mengeluhkan ketidaknyamanan ini. Mengakui bahwa ini tidak nyaman, iya... tapi tidak mengeluh, karena ternyata kami semua sependapat bahwa keluhan hanya akan memberatkan segalanya.

Terus terang di masa-masa transisi yang sejujurnya melelahkan lahir batin ini, saya suka terkenang akan ayah saya. Kadang saya suka ngebatin sendiri,

kalo papa ada , kita sekarang lagi ngapain ya? 

atau

si Papa bakal mikir apa ya ngeliat pembangunan rumah yang baru,

Kira-kira pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang terlintas ketika saya teringat beliau. Mei ini. 5 tahun sudah beliau meninggalkan kami. Tahun 2010, di bulan yang sama, ayah saya berpulang dengan damai ketika tidur siang.  Kalau tidak salah, waktu itu juga hari Sabtu, soalnya kami semua ada di rumah.

Sabtu ini kami semua juga ada di rumah. Karena teriknya ga kira-kira, saya memutuskan merebahkan diri sejenak. Baru saja akan tertidur, tahu-tahu ada yang mengetuk pintu rumah. Tumben nih, kalau tetangga yang datang, biasanya mereka langsung memanggil nama ibu saya atau cuma bilang "permisi". 

Saya buru-buru ke depan dan coba melihat dari jendela siapa yang datang. Pas pada saat yang sama tamu tersebut juga mencoba melihat ke dalam melalui kaca jendela. Saya kaget bukan main. Saya kira wajah yang saya tatap di jendela itu adalah ayah saya. Sumpah deh, selama 5 detik saya melongo tidak percaya karena saya kira yang menatap balik saya adalah ayah saya, Kalau ibu saya tidak buka suara bertanya siapa yang datang, mungkin saya akan melongo lebih lama.

Om saya dan istrinya datang dari Sukabumi. Tamu jauh yang sangat jarang kami jumpai. Om saya adalah adiknya Papa. Beliau kini  berumur 71 tahun dan wajahnya persis sekali seperti wajah Papa saat berumur 68 tahun.  Kami semua menyambut mereka dengan gembira. Ibu, kakak dan saya berganti-ganti bercerita. Dan ketika giliran mereka yang bercerita, saya diam-diam menikmati memandangi wajah Om. Ah betapa rindunya saya sama Papa.

Tak terasa mereka sudah harus pulang. Di pintu, setelah bergantian berpelukan dan cium tangan, entah kenapa saya spontan berkata,

Om, jaga kesehatan ya. Semua saudara Papa udah ga ada. Cuma Om yang kami punya sekarang.

Om saya tertawa dan sambil berkaca-kaca dia meremas bahu saya dan hanya menjawab,

Kamu sudah besar sekali ya...

Istrinya memeluk saya lalu dengan sumringah berkata,

Kangen ya sama Papanya. Doakan kami semua sehat-sehat ya.

Kami antar mereka sampai ke gerbang. Doa saya sederhana, semoga lebaran ini kami masih bisa berkumpul lagi. Aamiin.


Papa, Maret 2009

No comments:

Post a Comment